Korban pembantaian belanda di galung lombok Polewali mandar sulawesi barat tahun 1947 tercatat sebagai kasusu kekerasan ham terbesar kedua setelah India |
POLEWALI MANDAR— Pembantaian rakyat sipil Sulawesi Barat yang terjadi di Galung Lombok, Kabupaten Polewali Mandar, merupakan salah satu dari dua pembantaian terbesar dunia. Pembumihangusan di bagian barat Sulawesi itu berlangsung pada Februari 1947 oleh tentara Belanda di bawah pimpinan Paul Raymond Westerling dan merupakan bagian dari agresi militer Belanda di wilayah Sulawesi.
Saat itu, pasukan khusus Westerling menyisir wilayah Majene dan Polman, mengumpulkan dan menembaki rakyat sipil di daerah Galung Lombok, Kecamatan Tinambung, Polman. Rakyat Mandar kala itu ditembaki secara membabi buta dengan tangan terbelenggu. Tragedi ini termasuk pembantaian paling kejam sedunia.
"Kerumunan orang diperintahkan ditembak tanpa sasaran yang jelas," kata Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara Hutagalung, Kamis 12 Juli.
Demikian disampaikan penggiat sejarah itu dalam pertemuan kedua terkait dengan pengungkapan kejahatan perang Belanda di Indonesia. Pertemuan berlangsung di gedung DPD, Senayan, Jakarta, dan difasilitasi anggota Dewan asal Sulbar, Muh Asri Anas. Korban pembantaian Galung Lombok, imbuhnya, lebih besar dibandingkan dengan peristiwa di Rawagede yang juga dilakoni oleh tentara Belanda.
"Korban Galung Lombok lebih banyak. Korban tewas sudah tercatat 490 nama. Belum lagi korban yang terluka akibat praktik kekerasan ini. Korban luka-luka tidak ada catatan, kita tidak tau siapa yang merawat. Belanda habis nembak langsung pergi," urai Batara.
Pembunuhan massal terbesar lainnya menimpa masyarakat India, dikenal dengan Pembantaian Amritsar. Tentara Inggris di bawah komando Brigadir Jenderal Reginald Dyer menembaki pria, wanita, dan anak-anak yang sedang berkumpul di Jallianwala Bagh di bagian utara kota Amritsar, India.
"Pembantaian besar-besaran baru dua di dunia. Pertama di India tanggal 13 April 1919, kedua tanggal 1 Februari 1947 di Galung Lombok Sulbar," ujar Batara.
Pada pertemuan ini, hadir pula saksi dan korban kejahatan perang Belanda dari daerah lain di Indonesia, termasuk perwakilan para legiun veteran RI. Salah satu poin penting dalam rapat adalah terbentuknya Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI), wadah perjuangan nasional untuk menggugat Belanda. Komite ini akan berjuang menunutut pengakuan de jure 17 Agustus 1945 dan permohonan maaf Belanda atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang telah mereka lakukan di Indonesia.
Sekretaris Jenderal Kerukunan Keluarga Mandar Sulawesi Barat (KKMSB), yang juga koordinator KNPMBI, Salman DA mengatakan, forum korban pembantaian Belanda ini akan menggelar aksi unjuk rasa di Kedutaan Belanda pada Agustus mendatang.POLEWALI MANDAR, KOMPAS.com — Pembantaian rakyat sipil Sulawesi Barat yang terjadi di Galung Lombok, Kabupaten Polewali Mandar, merupakan salah satu dari dua pembantaian terbesar dunia. Pembumihangusan di bagian barat Sulawesi itu berlangsung pada Februari 1947 oleh tentara Belanda di bawah pimpinan Paul Raymond Westerling dan merupakan bagian dari agresi militer Belanda di wilayah Sulawesi.
Saat itu, pasukan khusus Westerling menyisir wilayah Majene dan Polman, mengumpulkan dan menembaki rakyat sipil di daerah Galung Lombok, Kecamatan Tinambung, Polman. Rakyat Mandar kala itu ditembaki secara membabi buta dengan tangan terbelenggu. Tragedi ini termasuk pembantaian paling kejam sedunia.
"Kerumunan orang diperintahkan ditembak tanpa sasaran yang jelas," kata Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara Hutagalung, Kamis 12 Juli.
Demikian disampaikan penggiat sejarah itu dalam pertemuan kedua terkait dengan pengungkapan kejahatan perang Belanda di Indonesia. Pertemuan berlangsung di gedung DPD, Senayan, Jakarta, dan difasilitasi anggota Dewan asal Sulbar, Muh Asri Anas. Korban pembantaian Galung Lombok, imbuhnya, lebih besar dibandingkan dengan peristiwa di Rawagede yang juga dilakoni oleh tentara Belanda.
"Korban Galung Lombok lebih banyak. Korban tewas sudah tercatat 490 nama. Belum lagi korban yang terluka akibat praktik kekerasan ini. Korban luka-luka tidak ada catatan, kita tidak tau siapa yang merawat. Belanda habis nembak langsung pergi," urai Batara.
Pembunuhan massal terbesar lainnya menimpa masyarakat India, dikenal dengan Pembantaian Amritsar. Tentara Inggris di bawah komando Brigadir Jenderal Reginald Dyer menembaki pria, wanita, dan anak-anak yang sedang berkumpul di Jallianwala Bagh di bagian utara kota Amritsar, India.
"Pembantaian besar-besaran baru dua di dunia. Pertama di India tanggal 13 April 1919, kedua tanggal 1 Februari 1947 di Galung Lombok Sulbar," ujar Batara.
Pada pertemuan ini, hadir pula saksi dan korban kejahatan perang Belanda dari daerah lain di Indonesia, termasuk perwakilan para legiun veteran RI. Salah satu poin penting dalam rapat adalah terbentuknya Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI), wadah perjuangan nasional untuk menggugat Belanda. Komite ini akan berjuang menunutut pengakuan de jure 17 Agustus 1945 dan permohonan maaf Belanda atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang telah mereka lakukan di Indonesia.
Sekretaris Jenderal Kerukunan Keluarga Mandar Sulawesi Barat (KKMSB), yang juga koordinator KNPMBI, Salman DA mengatakan, forum korban pembantaian Belanda ini akan menggelar aksi unjuk rasa di Kedutaan Belanda pada Agustus mendatang.
sumber: kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar