Selasa, 22 Mei 2012

Makalah Pancasila - KRISIS PENGUASA TANPA PANCASILA


KRISIS PENGUASA TANPA PANCASILA

Nama           :  Chintia Oktaviani
Jurusan          :  D3-MI

ABSTRAK
Kekuasaan merupakan kuasa untuk mengurus kuasa untuk memerintah, kemampuan,, kesanggupan kemampuan orang atau golongan untuk menguasai orang atau golongan lain, fungsi menciptakan dan memanfaatkan keadilan serta mencegah pelanggaran keadilan. Namun didalam kekuasaan tersebut masih banyak disalahgunakan seperti kasus-kasus korupsi, mafia hukum dan  pengelapan
Kejahatan kolektif dari para pencoleng berdasi bisa saja direkayasa menurut skenario tertentu. Apakah skenario sandiwara hukum itu mau dipercayai atau tidak, tidak terpikirkan dan dianggap tidak perlu dirisaukan sebab yang berlaku bukan kekuasaan hukum, melainkan hukum kekuasaan. Siapa yang harus menghakimi siapa, apalagi jika yang berkuasa atau penguasa tidak bersedia diadili sebab memang tidak mau diadili karena berkeyakinan tidak bersalah. Benar, asas praduga tidak bersalah haruslah dihormati. Sayangnya, kenyataanya tidak berbicara demikian. Akibatnya, penguasa seolah-olah mendengar tetapi tidak mendengar dan seolah-olah melihat tetapi tidak melihat, menambah beban penderitaan yang seharusnya tidak boleh terjadi dalam suatu negara merdeka yang notabene milik mereka sendiri dan pernah diperjuangkan oleh mereka atau oleh ayah atau kakek mereka selama revolusi fisik melawan penjajah.
Dari hal diatas dapat kita lihat bahwa masih banyak penguasa di negara ini yang telah lupa makna sesungguhnya dari pancasila yang merupakan idiologi bangsa.
                                                            
BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
Selain sebagai ideologi dan dasar negara, Pancasila juga merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Lahir dari akar sejarah budaya bangsa, Pancasila tak dapat dipungkiri, mengandung nilai-nilai luhur universal yang menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa. Nilai-nilai luhur lima sila Pancasila - Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia - ini tak sekedar dihafalkan, tetapi juga diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Khususnya, dalam kehidupan pribadi atau kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Namun, benarkah nilai-nilai luhur Pancasila telah diamalkan seluruh komponen bangsa? Jika nilai-nilai universal sudah diamalkan, mengapa negara Indonesia yang menjunjung moralitas justru marak praktik korupsi, kolusi dan nepotisme sampai Indonesia dicap sebagai negara korup.
Nilai-nilai luhur Pancasila yang seharusnya dijadikan acuan seperti dilupakan. Akibatnya, korupsi marak di mana-mana. Ironisnya, tindak korupsi itu dilakukan elite politik yang seharusnya memberikan contoh dalam menjunjung moralitas. Terkuaknya kasus korupsi di hampir semua lembaga atau departemen pemerintahan seakan meneguhkan bahwa kekuasaan cenderung korup. Fenomena itu menegaskan bahwa Pancasila selama ini hanya dijadikan slogan, tak dijiwai sebagai nilai luhur yang patut dijunjung tinggi.
Bagaimanapun negara ini didirikan atas landasan moral yang luhur. Sebelum terbentuk Negara Indonesia, etika dan moral dalam kehidupan sehari-hari warga di bumi Nusantara sudah menjadi pegangan yang dimaklumatkan penguasa kerajaan besar mulai dari Kerajaan Sriwijaya, Majapahit hingga Mataram. Hidup penuh toleransi, tolong-menolong, gotong-royong, bermusyawarah untuk menciptakan rasa aman, tenteram dan sejahtera seperti diungkapkan dengan semboyan gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharjo sudah menjadi harapan semua orang yang belakangan populer disebut "masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila'.
Berdasarkan Latar Belakang permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk menulis makalah yang berjudul Krisis Penguasa Tanpa Pancasila”.
Masalah pokok yang hendak dikemukakan di sini adalah kenyataan bahwa Pancasila di Indonesia telah kehilangan jiwanyanya sebagai jembatan transformasi sosial, akibat rusaknya moral para penguasa.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
·         Apakah Pancasila masih ada dijiwa para penguasa?
·         Adakah cara untuk mengembalikan nama baik pancasila?


BAB II
ARTI PENTING PANCASILA

  1. Pancasila Sebagai kenyataan Hidup dalam Masyarakat
Dalam perjuangan bangsa Indonesia Pancasila telah berperan amat besar dan bahkan menentukan. Dampak utama Pancasila sebagai Dasar Negara RI adalah bahwa hingga sekarang Republik Indonesia masih tetap berdiri meskipun selama 55 tahun harus mengalami ancaman, tantangan dan gangguan yang bukan main banyaknya dan derajat bahayanya. Pancasila telah menjadi pusat berkumpul (rallying point) bagi berbagai pendapat yang berkembang di antara para pengikut Republik sehingga terjaga persatuan untuk menjamin keberhasilan perjuangan. Pancasila juga memberikan pedoman yang jelas untuk menetapkan arah perjuangan pada setiap saat, terutama apabila harus dihadapi ancaman yang gawat yang datang dari luar. Pancasila juga telah menimbulkan motivasi yang kuat sehingga para pengikut Republik terus menjalankan perjuangan sekalipun menghadapi tantangan dan kesukaran yang bukan main beratnya. Dengan begitu Pancasila menjadi Identitas bangsa Indonesia. Namun ada satu kekurangan penting yang terdapat pada Dasar Negara kita, yaitu bahwa Pancasila belum menjadi kenyataan hidup dalam masyarakat Indonesia.
Adalah amat aneh dan tragis bahwa Bung Karno sebagai pencetus Pancasila dalam menjalankan pemerintahannya malahan melanggar nilai-nilai Pancasila ketika menerapkan Demokrasi Terpimpin serta berbagai pengaturan politik dan ekonominya. Akibatnya adalah bahwa Bung Karno tidak berhasil menjadikan Pancasila sebagai kenyataan hidup dalam masyarakat Indonesia.
Apalagi saat Orde Baru (Orba) Kekuasaan telah menjadikan Pancasila sebagai alat legitimasi kekuasaan. Tafsir dan moralitas sosial banyak diambil alih elite dalam kerangka politis. Pemerintah Orba betul-betul melakukan dominasi dan hegemoni atas pemaknaan Pancasila, sehingga kebaikan Pancasila hanya dilihat dari sisi substansialnya, mirip rumah kaca yang sangat indah dari luar.
Tidak heran, meski gencar indoktrinasi P4 dan melahirkan banyak orang cerdas dan penatar P4, tapi sikap dan moralitasnya tidak mencerminkan Pancasilais sejati. Realitas tersebut kemudian melahirkan politik "balas dendam", khususnya saat Orde Baru tumbang. Kemudian muncul euforia perlawanan atas berbagai hal yang berbau Orba, termasuk mereka yang selama kejayaan Orba menikmati begitu banyak keistimewaan. Pancasila kini tidak lagi menarik diperbincangkan. Lebih parah lagi, sebagian kalangan ingin menggantinya dengan ideologi baru karena itu dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman.

Sejarah panjang Pancasila dan perspektif masa depan tidak akan berhenti dari serbuan godaan, apalagi berkorelasi dengan penguatan demokrasi dan etika moral kemanusiaan, segalanya masih perlu bukti riil. Pancasila disadari akan melahirkan kebersamaan dalam pluralitas.

Namun Pancasila juga memungkinkan peluang bagi penguasa untuk melakukan dominasi dan hegemoni sebagaimana di era orba. Pada aspek lain, serbuan ideologi neo-liberalisme yang bertumpu pada pasar makin menggoyahkan nilai-nilai kehidupan yang selama ini dianggap sebagai nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Kecenderungan kuat "pasar" menjadikan orang bersifat konsumtif, segalanya diukur berdasarkan materi dan kapital berubah menjadi dewa. Karakteristik tersebut mengikis habis nilai-nilai Pancasila yang sarat dengan nilai- nilai sosial dan kemanusiaan.

Bagaimana pun kuatnya pengaruh dari luar maupun dari dalam, Pancasila sesungguhnya dapat diandalkan dalam menghadapi berbagai tantangan. Tentu, Pancasila harus benar-benar mampu diaplikasikan dengan baik oleh kita semua, khususnya para pemimpin. Sebagaimana apa yang dikatakan oleh Roeslan Abdulgani (1986), Pancasila kita bukan sekadar berisikan nilai-nilai statis, tetapi juga jiwa dinamis.

  1. Pancasila Vs Korupsi
Kita masih ingat sebuah sejarah ”pengkhianatan” Pancasila  yaitu Gerakan 30 September 1965. Dengan gagah perkasanya Pancasila menunjukkan ”kesaktian” nya hanya dalam waktu satu hari saja yaitu 1 oktober 1965. Dan akhirnya kita ”sepakati” tanggal 1 Oktober adalah hari kesaktian Pancasila.
Dalam keberadaan reformasi ini sepertinya Pancasila sudah ”mati” dengan banyak bukti tindakan korupsi para penyelenggara negara. Korupsi jelas anti Pancasila yang kemudian kita tidak mampu lagi menunjukkan ”kesaktian” Pancasila.
Dengan Korupsi, Ketuhanan Yang Maha Esa jelas sudah dilanggar karena para pelaku sudah mengingkari perintah Tuhan mereka yaiu Tidak Boleh Mencuri.
Dalam Korupsi, maka Kemanusiaan yang adil dan beradab jelas telah dilanggar karena manusia korupsi atau koruptor hanya memikir diri sendiri dan kelompoknya dan melanggar hak keadilan manusia lain.
Dalam Korupsi, maka Persatuan Indonesia juga terganggu karena terlibatnya para politisi dalam korupsi mengakibatkan ”perseteruan” salaing menjatuhkan dan saling melindungi pelaku korupsi.
Dalam Korupsi, maka Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan sangat terbukti telah dilanggar karena alasan demokrasi maka keputusan politik dalam pemberantasan korupsi lebih mendasar pada besarnya kekuatan dalam parlemen bukan berdasarkan sebuah kebijaksanaan untuk bangsa dan negara
Dalam Korupsi, maka Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia jelas hanya mimpi belaka karena alokasi anggaran untuk kesejateraan rakyat banyak diambil oleh mereka yang tidak berhak yaitu politisi dan birokrasi.
  

BAB III
PENGHIANATAN DAN PENGEMBALIAN NAMA BAIK PANCASILA

  1. Korupsi Menghianati Indonesia
Acuan moral atau etika kehidupan itu bisa ditemukan dalam karya para pujangga kerajaan, seperti dilukiskan oleh Empu Tantular dalam Sotasoma dan Empu Prapanca dalam Negara Kertagama. Nilai-nilai luhur itulah yang digali oleh para pendiri bangsa dan dirumuskan dalam Pancasila. Jadi, nilai-nilai luhur dan agung dalam Pancasila bukanlah sebuah atribut tanpa makna, melainkan ungkapan 'jiwa bangsa Indonesia'.
Sebagai falsafah hidup, Pancasila memuat nilai-nilai luhur dan sudah semestinya diamalkan agar tercipta kehidupan yang baik. Penerapan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan "konsekuensi logis" dari kesadaran kehendak, yang berawal dari dalam diri atau pengekangan dalam diri. Jika diterapkan, menimbulkan kehidupan manusia yang mencerminkan: 1) rasa keimanan, 2) rasa kemanusiaan, 3) rasa berbangsa/kebangsaan, 4) rasa demokrasi, dan 5) rasa keadilan sebagai implementasi lima sila dari Pancasila. (Prof Drs HAW Widjaya)
Kandungan nilai-nilai Pancasila memiliki kesesuaian dengan fitrah Ilahiyah yang termuat di dalam ajaran sejumlah kitab suci dalam semua agama. Nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang dimiliki dan diamalkan sebagai landasan hidup pemeluk agama apa pun. Maka, Pancasila dianggap sebagai ideologi yang bersifat universal karena dalam Pancasila ada nilai-nilai sosialis religius dan nilai-nilai etis.
Sayang seribu sayang, nilai-nilai itu tampaknya belum diamalkan dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Pancasila kerap kali ditafsirkan sepihak, dan cenderung diselewengkan sejumlah oknum dan pejabat negara. Nurani sebagian pejabat di Indonesia tidak lagi berjiwa Pancasilais. Tak heran, jika korupsi merajalela dan merebak di mana-mana.
Negeri Indonesia yang dibangun di atas pijakan keluhuran budi kebhinnekaan Nusantara oleh para pendiri bangsa seperti dilupakan. Korupsi pun menjadi penyakit yang sulit disembuhkan, karena dilakukan secara sistemik. Terkuaknya kasus-kasus korupsi di lembaga-lembaga penegak hukum, belakangan ini merupakan wajah buram sejarah korupsi di Indonesia.
Mengapa korupsi menjadi penyakit menahun di setiap lembaga dan departemen/kementerian di Indonesia? Pasalnya, Pancasila yang memuat nilai-nilai moral dan etis seakan menjadi pepesan kosong yang tak bermakna dan cenderung dilupakan. Karena itu, kini waktunya menjadikan Pancasila sebagai rumah bagi mentalitas semua komponen masyarakat. Pancasila harus kembali dijadikan sebagai 'kompas' atau 'rambu-rambu' untuk bertindak dan berperilaku agar tak melenceng dari nilai-nilai yang telah dijadikan sebagai kontrak sosial bersama sejak Indonesia merdeka.
Pada aras lain, Pancasila harus kembali dijadikan acuan hukum bahkan sumber dari segala sumber hukum. Karena, dengan cara itu, Indonesia benar-benar menjadi negara hukum, tidak lagi menjadikan nafsu atau ketamakan harta di balik kepentingan setiap perundang-undangan atau konstitusi. Sistem warisan rezim Orde Baru yang kental ketamakan akan kekuasaan dan harta tampaknya tetap menyelimuti di antara komponen warga bangsa.
Tak pelak, cara-cara lama penyusunan konstitusi yang kerap ditengarai hanya untuk mencari celah pembenaran atas kehendak kelompok, golongan, atau pribadi tertentu, tetap saja marak. Tak sedikit perundang-undangan dibuat dengan mencederai prinsip sila keempat Pancasila, yang lebih mengedepankan musyawarah-mufakat.
Fakta bahwa banyak di antara elite politik dan pejabat negeri ini ramai-ramai korupsi, tak dapat disangkal, tidak sesuai acuan nilai-nilai luhur universal Pancasila. Perilaku pemimpin korup demikian jelas merupakan pengkhianatan terhadap Pancasila. ***

  1. Kanker Korupsi
Ada asap karena ada api, kejadian-kejadian yang sering terjadi saat ini tentu saja karena ada penyebabnya dan memiliki faktor pendukung. Ada banyak faktor yang mendukung tumbuhsuburnya korupsi yakni rendahnya kualitas sumber daya manusia. Kualitas tersebut bukan hanyadari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas moral dankepribadiaannya; monopoli kekuasaan; faktor budaya; sistem sosialis-komunis; tidak adanyasupremasi hukum dan yang terpenting ialah bagaimana pemerintah menyikapi fenomena korupsi. Cenderung pemerintah baru akan menindaklanjuti suatu perkara korupsi ketika kasus tersebutdiangkat oleh media massa kehadapan publik. Faktor-faktor seperti itulah yang membuat ladangyang subur untuk tumbuhnya perilaku kejahatan korupsi.Ada sebab sudah pasti tentu ada akibat. Korupsi yang sudah memiliki ladang akan dengan mudah tumbuh dan berkembang. Korupsi bagaikan kanker yang dengan cepat merembes kemana-mana tidak hanya di pemerintahan tingkat pusat bahkan sudah berhasil menyusupi pemerintah- pemerintah di daerah. Korupsi kemudian mengkorupsi Indonesia melalui aparatur-aparatur negarayang selanjutnya menimbulkan ketidakstabilan domestik dalam banyak aspek. Kondisi domestik yang sedemikian rupa tidak stabil membawa dampak buruk yang sangat banyak bagi Indonesia.
Namun, penulis disini akan fokus bagaiman korupsi berhasil membentuk citra buruk Indonesia di mata dunia internasional yang kemudian melahirkan perilaku-perilakusinis, ketidakpercayaan dunia internasional terhadap Indonesia. Bentuk-bentuk perilaku sinis dan ketidakpercayaan tersebut diwujudkan melalui politik luar negerinya terhadap Indonesia yang nantinya secara langsung akan mempengaruhi cepat lambatnya pembangunan nasional dan destabilisasi ekonomi, politik, pertahanan keamanan Indonesia.
Korupsi memang tidak seperti halnya penyakit polio yang dapat di obati sekali pukul dengan vaksin. Akan tetapi, dengan politicl will dan kesadaran dari semua pihak maka, korupsi perlahan-lahan dapat dikurangi untuk membangun Indonesia sebagai negara besar tanpa korupsiyang menggerogoti perekonomian, sistem politik dan efisiensi organisasi Indonesia.
C.       Mengembalikan Nama Baik Pancasila
Tidak ada gunanya kita secara verbal menjunjung tinggi sila Ketuhanan Yang Maha Esa, tapi kita takut melawan kemusyrikan. Tidak ada gunanya kita mengagungkan sila perikemanusiaan, kalau kita membiarkan terus berkembangnya situasi yang tidak manusiawi.

Komitmen kita pada eksistensi Pancasila sebagai dasar negara sebenarnya sudah final, sehingga tidak ada pilihan lain, kecuali Pancasila harus terus disuarakan, memulihkan nama baiknya. Caranya, dengan membumikan substansi dan nilai yang dikandungnya.

Sebagai konsep dan nilai-nilai normatif, Pancasila tentu jauh dari kekeliruan, hanya para aktor yang sering menyalahgunakannya. Menghidupkan kembali wacana publik tentang Pancasila bukan didasari romantisme historis dan kerinduan belaka terhadap masa lalu. Tapi, suatu fakta riil akan pentingnya identitas nasional dalam membingkai dinamika yang kompleks.

Revitalisasi Pancasila mendesak karena memang kita membutuhkan simbol pemersatu dan identitas nasional yang bisa diterima berbagai kalangan. Sebab, sejak reformasi bergulir dan mengambil alih kekuasaan, faktor pemersatu bangsa mengalami kemerosotan.

Paling tidak terdapat dua hal penting yang harus diperhatikan dalam memulihkan nama baik Pancasila. Pertama, melakukan sosialisasi antar-komunitas kita masing-masing dan terus meramaikan wacana publik soal eksistensi dan substansi Pancasila. Membangun kembali kesadaran akan Pancasila sebagai identitas nasional.

Kedua, sikap konsisten dari berbagai elemen bangsa, khususnya para pemimpin negeri ini menjadikan Pancasila sebagai pedoman dalam berpikir dan bertindak. Tidak sekadar menjadi "lipstik" penghias dan pemanis bibir, tapi perlu langkah kongkret. Pancasila harus menjadi nilai fundamental dalam mengangkat derajat kemanusiaan kita. Nilai-nilai Pancasila harus menjadi solusi atas derita kemiskinan yang selama ini menjadi hantu menakutkan di tengah masyarakat.

Mayoritas masyarakat kita bukan hanya tidak punya strategi, tapi tidak pernah berpikir untuk mengubah ideologi Pancasila, karena mereka terlalu sibuk memikirkan nasib dan kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka hanya memikirkan kapan bisa keluar dari belenggu kemiskinan.

Di sinilah pentingnya Pancasila sebagai nilai pencerahan dalam bingkai pembangunan yang lebih kongkret agar bisa mengubah nasib masyarakat. Nasionalisme memang penting untuk selalu dipertanyakan, tapi tidak kalah pentingnya "kemerdekaan" yang menyertai semangat nasionalisme itu sendiri.

Apa yang diperjuangkan rakyat Indonesia dulu adalah kemerdekaan bangsa untuk mencapai kemerdekaan personal yang sejati. Nasionalisme adalah senjata utama dalam menguatkan gerakan revolusi, namun kemerdekaan sebagai tujuan utamanya, merdeka dari segala bentuk penindasan, termasuk merdeka dari kemiskinan. Mudah-mudahan hal ini bisa diingat terus oleh para pemimpin kita.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

-          KESIMPULAN
Kekuasaan yang artinya sendiri itu memerintah jika tidak dilandasi ideologi akan menimbulkan kejahatan-kejahatan seperti kasus-kasus korupsi, mafia hukum dan  pengelapan. Penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh para penguasa atau orang yang memiliki kekuasaan dapat pula meningkatkan angka statistik kejahatan yang dialami korban. Kekuasaan pemerintahan yang sewenang-wenang melanggar HAM rakyat masih banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan. Korban ini timbul bila pejabat/penguasa dalam pelayanan terhadap masyarakat, baik sengaja atau kelalaian menyebabkan kerugian material atau immaterial dan hak asasi dari rakyat yang dilayaninya. Jadi, Asas keseimbangan pelayanan hukum terhadap korban dan penguasa perlu dipelihara dengan baik melalui perlindungan hukum.

-          SARAN

Upaya untuk menghindarkan diri jadi korban penyalahgunaan kekuasaan dapat dilakukan melalui jalur legal (hukum) baik melalui KPK, SATGAS PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM, KOMNAS HAM, dan masyarakat seharusnya semakin bisa memperhatikan gerak gerik penguasa jangan sampai dibodohi ataupun dibohongin dan sebaiknya bertindak bijak dengan berupaya mempelajari kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh penguasa, serta melakukan pembelaan diri secara langsung atau tidak langsung dari kemungkinan timbulnya korban dari penyalahgunaan kekuasaan.


  
DAFTAR PUSTAKA

·    Mansur Semma, 2008, Negara dan korupsi: pemikiran Mochtar Lubis atas negara,manusia Indonesia, dan perilaku politik. Yayasan Obor Indonesia.
·    Wijayanto, Ridwan Zachrie, 2009, Korupsi mengorupsi Indonesia: sebab, akibat, dan prospek pemberantasan. PT Gramedia Pustaka Utama.

SUMBER LAIN


0 komentar:

Posting Komentar