Selasa, 07 Agustus 2012

5 Tantangan Indonesia Menjadi Pusat Busana Muslim Dunia


KOMPAS.com - Layaknya Paris, Milan, New York, London yang menjadi pusat mode dunia, di tahun 2020 mendatang, asosiasi desainer Indonesia dan pemerintah bertujuan menjadikan Indonesia sebagai kiblat busana muslim dunia.
"Dilihat dari perkembangannya, busana muslim Indonesia memiliki gaya yang lebih kreatif dan fashionable dibanding dengan negara muslim lainnya," tukas ketua Asosiasi Perancang dan Pengusaha Mode Indonesia (APPMI), Taruna Kusmayadi dalam acara konferensi pers Indonesia Islamic Fashion Fair (IIFF) di Hotel Sahid, Jakarta Selatan, Senin (6/8/2012) lalu.

Bukannya tak mungkin Indonesia mampu menjadi pusat mode busana muslim, karena Indonesia memiliki sumber daya yang kompeten, sampai bahan baku fashion yang unik dan beragam. Namun, diakui Euis Saedah, Direktorat Jenderal Industri Kecil Menengah Kementerian Perindustrian, masih ada beberapa tantangan yang harus dihadapi untuk mewujudkan hal ini.

1. Bahan baku
"Sampai sekarang, masalah yang sering jadi kendala adalah bahan baku yang masih harus impor," jelas Euis. Kain-kain yang biasa digunakan untuk industri fashion seperti kain katun dan sutera merupakan dua komoditas yang masih harus diimpor sampai saat ini. Salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mendirikan sebuah badan penyanggan kestabilan harga bahan baku fashion melalui BUMN. Namun, sampai saat ini diakui Euis belum efektif untuk mengatasi masalah kenaikan harga dan pasokan kain impor.

2. Teknologi
Sekalipun Indonesia memiliki kekayaan budaya dan juga teknik pembuatan kain yang baik. Sebut saja batik tulis sampai kain tenun handmade, sayangnya hal ini menjadi salah satu kekurangan jika diproduksi massal. "Masyarakat masih banyak yang menggunakan alat tenun ATBM sehingga produksinya masih sangat terbatas dan proses produksinya lama," jelasnya.

Pemerintah sebenarnya sejak beberapa tahun lalu sudah memberikan subsidi untuk masalah ini. Subsidi tersebut berbentuk pembelian mesin sebesar 25 persen untuk mesin impor dan 30 persen untuk mesin lokal. Dan di tahun lalu, mesin sulam bordir buatan China, adalah mesin yang paling laris di pasaran. Industri Kecil Menengah (IKM) mendapatkan subsidi 25 persen untuk membeli mesin sulam seharga Rp. 200-300 juta per mesin.

3. Sumber daya manusia
Masalah sumber daya manusia ini bukan berarti tidak banyak orang yang berpotensi dan kreatif dalam dunia fashion. Namun, tantangan yang harus dihadapi adalah, masih banyak orang yang bergelut di fashion hanya sekedar hobi atau ikut-ikutan. Menyikapi hal ini, Euis dan beberapa asosiasi desainer mencoba untuk mengadakan pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk memajukan industri fashion. "Beberapa waktu lalu diadakan pelatihan untuk 500 orang tentang sulam usus langsung oleh desainer Irna Mutiara di Lampung. Pelatihan yang diberikan juga tentang modifikasi hingga pemasarannya," tambahnya.

4. Pemasaran
Sampai saat ini masih banyak IKM yang terhambat pemasaran produknya. Sekalipun produk yang mereka hasilkan bagus, namun tak ada gunanya jika pemasaran tak memadai. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk membantu IKM adalah dengan membantu memasarkan berbagai produknya dengan mengikutsertakan mereka dalam pameran. "Setiap tahunnya, pemerintah memberi subsidi Rp. 1-2 M untuk membeli booth bagi IKM. Bahkan jika dinilai potensial dagang, maka pemerintah juga akan memberikan subsidi untuk ikut pameran di luar negeri," tukasnya.

5. Modal
Salah satu masalah klasik yang dialami IKM di Indonesia adalah kurangnya modal yang dimiliki. IKM ini cenderung bingung untuk menjamin permodalan mereka karena bunga yang terlalu tinggi dari bank. "Bunga bank Indonesia memang yang paling tinggi se-Asia," kata Euis. Menyikapi hal ini, pemerintah berupaya untuk memberikan KUR (Kredit Usaha Rakyat). Selain itu, sekarang ini pemerintah bekerjasama dengan 20 pengusaha besar dan Himpunan Pengusaha Pribumi (HIPPI) mendirikan modal ventura untuk modal IKM. 

sumber: kompas.com

0 komentar:

Posting Komentar