KRISIS PENGUASA TANPA PANCASILA
Nama : Chintia Oktaviani
Jurusan : D3-MI
ABSTRAK
Kekuasaan
merupakan kuasa untuk mengurus kuasa untuk memerintah, kemampuan,, kesanggupan
kemampuan orang atau golongan untuk menguasai orang atau golongan lain, fungsi
menciptakan dan memanfaatkan keadilan serta mencegah pelanggaran keadilan.
Namun didalam kekuasaan tersebut
masih banyak disalahgunakan seperti kasus-kasus korupsi, mafia
hukum dan pengelapan
Kejahatan kolektif dari para pencoleng berdasi bisa
saja direkayasa menurut skenario tertentu. Apakah skenario sandiwara hukum itu
mau dipercayai atau tidak, tidak terpikirkan dan dianggap tidak perlu
dirisaukan sebab yang berlaku bukan kekuasaan hukum, melainkan hukum kekuasaan.
Siapa yang harus menghakimi siapa, apalagi jika yang berkuasa atau penguasa
tidak bersedia diadili sebab memang tidak mau diadili karena berkeyakinan tidak
bersalah. Benar, asas praduga tidak bersalah haruslah dihormati. Sayangnya,
kenyataanya tidak berbicara demikian. Akibatnya, penguasa seolah-olah mendengar
tetapi tidak mendengar dan seolah-olah melihat tetapi tidak melihat, menambah
beban penderitaan yang seharusnya tidak boleh terjadi dalam suatu negara
merdeka yang notabene milik mereka sendiri dan pernah diperjuangkan oleh mereka
atau oleh ayah atau kakek mereka selama revolusi fisik melawan penjajah.
Dari
hal diatas dapat kita lihat bahwa masih banyak penguasa di negara ini yang
telah lupa makna sesungguhnya dari pancasila yang merupakan idiologi bangsa.
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Selain sebagai ideologi dan dasar negara, Pancasila
juga merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Lahir dari akar
sejarah budaya bangsa, Pancasila tak dapat dipungkiri, mengandung nilai-nilai
luhur universal yang menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa. Nilai-nilai
luhur lima sila Pancasila - Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia - ini tak sekedar dihafalkan, tetapi juga diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari. Khususnya, dalam kehidupan pribadi atau kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Namun, benarkah nilai-nilai luhur Pancasila telah
diamalkan seluruh komponen bangsa? Jika nilai-nilai universal sudah diamalkan,
mengapa negara Indonesia yang menjunjung moralitas justru marak praktik
korupsi, kolusi dan nepotisme sampai Indonesia dicap sebagai negara korup.
Nilai-nilai luhur Pancasila yang seharusnya dijadikan
acuan seperti dilupakan. Akibatnya, korupsi marak di mana-mana. Ironisnya,
tindak korupsi itu dilakukan elite politik yang seharusnya memberikan contoh
dalam menjunjung moralitas. Terkuaknya kasus korupsi di hampir semua lembaga
atau departemen pemerintahan seakan meneguhkan bahwa kekuasaan cenderung korup.
Fenomena itu menegaskan bahwa Pancasila selama ini hanya dijadikan slogan, tak
dijiwai sebagai nilai luhur yang patut dijunjung tinggi.
Bagaimanapun negara ini didirikan atas landasan moral
yang luhur. Sebelum terbentuk Negara Indonesia, etika dan moral dalam kehidupan
sehari-hari warga di bumi Nusantara sudah menjadi pegangan yang dimaklumatkan penguasa
kerajaan besar mulai dari Kerajaan Sriwijaya, Majapahit hingga Mataram. Hidup
penuh toleransi, tolong-menolong, gotong-royong, bermusyawarah untuk
menciptakan rasa aman, tenteram dan sejahtera seperti diungkapkan dengan
semboyan gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharjo sudah menjadi
harapan semua orang yang belakangan populer disebut "masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila'.
Berdasarkan Latar Belakang permasalahan tersebut,
penulis tertarik untuk menulis makalah yang berjudul “Krisis
Penguasa Tanpa Pancasila”.
Masalah pokok yang hendak dikemukakan di sini adalah
kenyataan bahwa Pancasila di Indonesia telah kehilangan jiwanyanya sebagai
jembatan transformasi sosial, akibat rusaknya moral para penguasa.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya
adalah sebagai berikut:
·
Apakah
Pancasila masih ada
dijiwa para penguasa?
·
Adakah cara untuk mengembalikan nama
baik pancasila?
BAB II
ARTI PENTING PANCASILA
- Pancasila
Sebagai kenyataan Hidup dalam Masyarakat
Dalam perjuangan bangsa
Indonesia Pancasila telah berperan amat besar dan bahkan menentukan. Dampak
utama Pancasila sebagai Dasar Negara RI adalah bahwa hingga sekarang Republik
Indonesia masih tetap berdiri meskipun selama 55 tahun harus mengalami ancaman,
tantangan dan gangguan yang bukan main banyaknya dan derajat bahayanya.
Pancasila telah menjadi pusat berkumpul (rallying point) bagi
berbagai pendapat yang berkembang di antara para pengikut Republik sehingga
terjaga persatuan untuk menjamin keberhasilan perjuangan. Pancasila juga
memberikan pedoman yang jelas untuk menetapkan arah perjuangan pada setiap
saat, terutama apabila harus dihadapi ancaman yang gawat yang datang dari luar.
Pancasila juga telah menimbulkan motivasi yang kuat sehingga para pengikut
Republik terus menjalankan perjuangan sekalipun menghadapi tantangan dan
kesukaran yang bukan main beratnya. Dengan begitu Pancasila menjadi Identitas
bangsa Indonesia. Namun ada satu kekurangan penting yang terdapat pada Dasar
Negara kita, yaitu bahwa Pancasila belum menjadi
kenyataan hidup dalam masyarakat Indonesia.
Adalah amat aneh dan tragis
bahwa Bung Karno sebagai pencetus Pancasila dalam menjalankan pemerintahannya
malahan melanggar nilai-nilai Pancasila ketika menerapkan Demokrasi Terpimpin
serta berbagai pengaturan politik dan ekonominya. Akibatnya adalah bahwa Bung
Karno tidak berhasil menjadikan Pancasila
sebagai kenyataan hidup dalam masyarakat Indonesia.
Apalagi saat Orde Baru
(Orba) Kekuasaan telah menjadikan Pancasila sebagai alat legitimasi kekuasaan.
Tafsir dan moralitas sosial banyak diambil alih elite dalam kerangka politis.
Pemerintah Orba betul-betul melakukan dominasi dan hegemoni atas pemaknaan
Pancasila, sehingga kebaikan Pancasila hanya dilihat dari sisi substansialnya,
mirip rumah kaca yang sangat indah dari luar.
Tidak heran, meski gencar indoktrinasi P4 dan melahirkan banyak orang cerdas
dan penatar P4, tapi sikap dan moralitasnya tidak mencerminkan Pancasilais
sejati. Realitas tersebut kemudian melahirkan politik "balas dendam",
khususnya saat Orde Baru tumbang. Kemudian muncul euforia perlawanan atas
berbagai hal yang berbau Orba, termasuk mereka yang selama kejayaan Orba
menikmati begitu banyak keistimewaan. Pancasila kini tidak lagi menarik
diperbincangkan. Lebih parah lagi, sebagian kalangan ingin menggantinya dengan
ideologi baru karena itu dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman.
Sejarah panjang Pancasila dan perspektif masa depan tidak akan berhenti dari
serbuan godaan, apalagi berkorelasi dengan penguatan demokrasi dan etika moral
kemanusiaan, segalanya masih perlu bukti riil. Pancasila disadari akan
melahirkan kebersamaan dalam pluralitas.
Namun Pancasila juga memungkinkan peluang bagi penguasa untuk melakukan
dominasi dan hegemoni sebagaimana di era orba. Pada aspek lain, serbuan
ideologi neo-liberalisme yang bertumpu pada pasar makin menggoyahkan
nilai-nilai kehidupan yang selama ini dianggap sebagai nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia.
Kecenderungan kuat "pasar" menjadikan orang bersifat konsumtif, segalanya
diukur berdasarkan materi dan kapital berubah menjadi dewa. Karakteristik
tersebut mengikis habis nilai-nilai Pancasila yang sarat dengan nilai- nilai
sosial dan kemanusiaan.
Bagaimana pun kuatnya pengaruh dari luar maupun dari dalam, Pancasila sesungguhnya
dapat diandalkan dalam menghadapi berbagai tantangan. Tentu, Pancasila harus
benar-benar mampu diaplikasikan dengan baik oleh kita semua, khususnya para
pemimpin. Sebagaimana apa yang dikatakan oleh Roeslan Abdulgani (1986),
Pancasila kita bukan sekadar berisikan nilai-nilai statis, tetapi juga jiwa
dinamis.
- Pancasila
Vs Korupsi
Kita masih ingat sebuah sejarah ”pengkhianatan”
Pancasila yaitu Gerakan 30 September
1965. Dengan gagah perkasanya Pancasila menunjukkan ”kesaktian” nya hanya dalam
waktu satu hari saja yaitu 1 oktober 1965. Dan akhirnya kita ”sepakati” tanggal
1 Oktober adalah hari kesaktian Pancasila.
Dalam keberadaan reformasi ini sepertinya Pancasila
sudah ”mati” dengan banyak bukti tindakan korupsi para penyelenggara negara.
Korupsi jelas anti Pancasila yang kemudian kita tidak mampu lagi menunjukkan
”kesaktian” Pancasila.
Dengan Korupsi, Ketuhanan Yang Maha Esa jelas sudah
dilanggar karena para pelaku sudah mengingkari perintah Tuhan mereka yaiu Tidak
Boleh Mencuri.
Dalam Korupsi, maka Kemanusiaan yang adil dan beradab
jelas telah dilanggar karena manusia korupsi atau koruptor hanya memikir diri
sendiri dan kelompoknya dan melanggar hak keadilan manusia lain.
Dalam Korupsi, maka Persatuan Indonesia juga terganggu
karena terlibatnya para politisi dalam korupsi mengakibatkan ”perseteruan”
salaing menjatuhkan dan saling melindungi pelaku korupsi.
Dalam Korupsi, maka Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan sangat terbukti telah
dilanggar karena alasan demokrasi maka keputusan politik dalam pemberantasan
korupsi lebih mendasar pada besarnya kekuatan dalam parlemen bukan berdasarkan
sebuah kebijaksanaan untuk bangsa dan negara
Dalam Korupsi, maka Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia jelas hanya mimpi belaka karena alokasi anggaran untuk
kesejateraan rakyat banyak diambil oleh mereka yang tidak berhak yaitu politisi
dan birokrasi.
BAB
III
PENGHIANATAN
DAN PENGEMBALIAN NAMA BAIK PANCASILA
- Korupsi
Menghianati Indonesia
Acuan moral atau etika kehidupan itu bisa ditemukan
dalam karya para pujangga kerajaan, seperti dilukiskan oleh Empu Tantular dalam
Sotasoma dan Empu Prapanca dalam Negara Kertagama. Nilai-nilai luhur itulah
yang digali oleh para pendiri bangsa dan dirumuskan dalam Pancasila. Jadi,
nilai-nilai luhur dan agung dalam Pancasila bukanlah sebuah atribut tanpa
makna, melainkan ungkapan 'jiwa bangsa Indonesia'.
Sebagai falsafah hidup, Pancasila memuat nilai-nilai
luhur dan sudah semestinya diamalkan agar tercipta kehidupan yang baik. Penerapan
nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan
"konsekuensi logis" dari kesadaran kehendak, yang berawal dari dalam
diri atau pengekangan dalam diri. Jika diterapkan, menimbulkan kehidupan
manusia yang mencerminkan: 1) rasa keimanan, 2) rasa kemanusiaan, 3) rasa
berbangsa/kebangsaan, 4) rasa demokrasi, dan 5) rasa keadilan sebagai
implementasi lima sila dari Pancasila. (Prof Drs HAW Widjaya)
Kandungan nilai-nilai Pancasila memiliki kesesuaian
dengan fitrah Ilahiyah yang termuat di dalam ajaran sejumlah kitab suci dalam
semua agama. Nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila itu tidak bertentangan
dengan nilai-nilai yang dimiliki dan diamalkan sebagai landasan hidup pemeluk
agama apa pun. Maka, Pancasila dianggap sebagai ideologi yang bersifat
universal karena dalam Pancasila ada nilai-nilai sosialis religius dan
nilai-nilai etis.
Sayang seribu sayang, nilai-nilai itu tampaknya belum
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Pancasila kerap kali
ditafsirkan sepihak, dan cenderung diselewengkan sejumlah oknum dan pejabat
negara. Nurani sebagian pejabat di Indonesia tidak lagi berjiwa Pancasilais.
Tak heran, jika korupsi merajalela dan merebak di mana-mana.
Negeri Indonesia yang dibangun di atas pijakan
keluhuran budi kebhinnekaan Nusantara oleh para pendiri bangsa seperti
dilupakan. Korupsi pun menjadi penyakit yang sulit disembuhkan, karena
dilakukan secara sistemik. Terkuaknya kasus-kasus korupsi di lembaga-lembaga
penegak hukum, belakangan ini merupakan wajah buram sejarah korupsi di
Indonesia.
Mengapa korupsi menjadi penyakit menahun di setiap lembaga dan
departemen/kementerian di Indonesia? Pasalnya, Pancasila yang memuat
nilai-nilai moral dan etis seakan menjadi pepesan kosong yang tak bermakna dan
cenderung dilupakan. Karena itu, kini waktunya menjadikan Pancasila sebagai
rumah bagi mentalitas semua komponen masyarakat. Pancasila harus kembali
dijadikan sebagai 'kompas' atau 'rambu-rambu' untuk bertindak dan berperilaku
agar tak melenceng dari nilai-nilai yang telah dijadikan sebagai kontrak sosial
bersama sejak Indonesia merdeka.
Pada aras lain, Pancasila harus kembali dijadikan
acuan hukum bahkan sumber dari segala sumber hukum. Karena, dengan cara itu,
Indonesia benar-benar menjadi negara hukum, tidak lagi menjadikan nafsu atau
ketamakan harta di balik kepentingan setiap perundang-undangan atau konstitusi.
Sistem warisan rezim Orde Baru yang kental ketamakan akan kekuasaan dan harta
tampaknya tetap menyelimuti di antara komponen warga bangsa.
Tak pelak, cara-cara lama penyusunan konstitusi yang
kerap ditengarai hanya untuk mencari celah pembenaran atas kehendak kelompok,
golongan, atau pribadi tertentu, tetap saja marak. Tak sedikit
perundang-undangan dibuat dengan mencederai prinsip sila keempat Pancasila, yang
lebih mengedepankan musyawarah-mufakat.
Fakta bahwa banyak di antara elite politik dan pejabat
negeri ini ramai-ramai korupsi, tak dapat disangkal, tidak sesuai acuan
nilai-nilai luhur universal Pancasila. Perilaku pemimpin korup demikian jelas
merupakan pengkhianatan terhadap Pancasila. ***
- Kanker Korupsi
Ada asap karena ada api, kejadian-kejadian yang
sering terjadi saat ini tentu saja
karena ada penyebabnya dan memiliki faktor pendukung. Ada banyak faktor yang
mendukung tumbuhsuburnya korupsi yakni rendahnya kualitas sumber daya manusia.
Kualitas tersebut bukan hanyadari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi
juga menyangkut kualitas moral dankepribadiaannya; monopoli kekuasaan; faktor
budaya; sistem sosialis-komunis; tidak adanyasupremasi hukum dan yang
terpenting ialah bagaimana pemerintah menyikapi fenomena korupsi.
Cenderung pemerintah baru akan menindaklanjuti suatu
perkara korupsi ketika kasus tersebutdiangkat oleh media massa kehadapan
publik. Faktor-faktor seperti itulah yang membuat ladangyang subur untuk
tumbuhnya perilaku kejahatan korupsi.Ada sebab sudah pasti tentu ada akibat.
Korupsi yang sudah memiliki ladang akan dengan
mudah tumbuh dan berkembang. Korupsi bagaikan kanker
yang dengan cepat merembes kemana-mana tidak hanya di pemerintahan tingkat
pusat bahkan sudah berhasil menyusupi pemerintah- pemerintah di daerah. Korupsi
kemudian mengkorupsi Indonesia melalui aparatur-aparatur negarayang selanjutnya
menimbulkan ketidakstabilan domestik dalam banyak aspek. Kondisi domestik yang sedemikian
rupa tidak stabil membawa dampak buruk yang sangat banyak bagi Indonesia.
Namun, penulis disini akan fokus bagaiman korupsi
berhasil membentuk citra buruk Indonesia di mata dunia internasional yang
kemudian melahirkan perilaku-perilakusinis,
ketidakpercayaan dunia internasional terhadap
Indonesia. Bentuk-bentuk perilaku sinis dan
ketidakpercayaan tersebut diwujudkan melalui politik
luar negerinya terhadap Indonesia yang nantinya secara langsung akan mempengaruhi cepat
lambatnya pembangunan nasional dan destabilisasi ekonomi, politik, pertahanan keamanan
Indonesia.
Korupsi memang tidak seperti halnya penyakit polio
yang dapat di obati sekali pukul dengan vaksin. Akan tetapi, dengan politicl will dan
kesadaran dari semua pihak maka, korupsi perlahan-lahan dapat dikurangi untuk
membangun Indonesia sebagai negara besar tanpa korupsiyang menggerogoti
perekonomian, sistem politik dan efisiensi organisasi Indonesia.
C.
Mengembalikan
Nama Baik Pancasila
Tidak ada gunanya kita secara verbal menjunjung tinggi sila Ketuhanan Yang Maha
Esa, tapi kita takut melawan kemusyrikan. Tidak ada gunanya kita mengagungkan
sila perikemanusiaan, kalau kita membiarkan terus berkembangnya situasi yang
tidak manusiawi.
Komitmen kita pada eksistensi Pancasila sebagai dasar negara sebenarnya sudah
final, sehingga tidak ada pilihan lain, kecuali Pancasila harus terus
disuarakan, memulihkan nama baiknya. Caranya, dengan membumikan substansi dan
nilai yang dikandungnya.
Sebagai konsep dan nilai-nilai normatif, Pancasila tentu jauh dari kekeliruan,
hanya para aktor yang sering menyalahgunakannya. Menghidupkan kembali wacana
publik tentang Pancasila bukan didasari romantisme historis dan kerinduan
belaka terhadap masa lalu. Tapi, suatu fakta riil akan pentingnya identitas
nasional dalam membingkai dinamika yang kompleks.
Revitalisasi Pancasila mendesak karena memang kita membutuhkan simbol pemersatu
dan identitas nasional yang bisa diterima berbagai kalangan. Sebab, sejak
reformasi bergulir dan mengambil alih kekuasaan, faktor pemersatu bangsa
mengalami kemerosotan.
Paling tidak terdapat dua hal penting yang harus diperhatikan dalam memulihkan
nama baik Pancasila. Pertama, melakukan sosialisasi antar-komunitas kita
masing-masing dan terus meramaikan wacana publik soal eksistensi dan substansi
Pancasila. Membangun kembali kesadaran akan Pancasila sebagai identitas
nasional.
Kedua, sikap konsisten dari berbagai elemen bangsa, khususnya para pemimpin
negeri ini menjadikan Pancasila sebagai pedoman dalam berpikir dan bertindak.
Tidak sekadar menjadi "lipstik" penghias dan pemanis bibir, tapi
perlu langkah kongkret. Pancasila harus menjadi nilai fundamental dalam
mengangkat derajat kemanusiaan kita. Nilai-nilai Pancasila harus menjadi solusi
atas derita kemiskinan yang selama ini menjadi hantu menakutkan di tengah
masyarakat.
Mayoritas masyarakat kita bukan hanya tidak punya strategi, tapi tidak pernah
berpikir untuk mengubah ideologi Pancasila, karena mereka terlalu sibuk
memikirkan nasib dan kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka hanya memikirkan kapan
bisa keluar dari belenggu kemiskinan.
Di sinilah pentingnya Pancasila sebagai nilai pencerahan dalam bingkai
pembangunan yang lebih kongkret agar bisa mengubah nasib masyarakat.
Nasionalisme memang penting untuk selalu dipertanyakan, tapi tidak kalah
pentingnya "kemerdekaan" yang menyertai semangat nasionalisme itu
sendiri.
Apa yang diperjuangkan rakyat Indonesia dulu adalah kemerdekaan bangsa untuk
mencapai kemerdekaan personal yang sejati. Nasionalisme adalah senjata utama
dalam menguatkan gerakan revolusi, namun kemerdekaan sebagai tujuan utamanya,
merdeka dari segala bentuk penindasan, termasuk merdeka dari kemiskinan.
Mudah-mudahan hal ini bisa diingat terus oleh para pemimpin kita.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
-
KESIMPULAN
Kekuasaan yang artinya
sendiri itu memerintah jika tidak dilandasi ideologi akan menimbulkan
kejahatan-kejahatan seperti kasus-kasus korupsi, mafia
hukum dan pengelapan. Penyalahgunaan
kekuasaan yang
dilakukan oleh para
penguasa atau orang yang memiliki kekuasaan dapat pula meningkatkan angka
statistik kejahatan yang dialami korban. Kekuasaan pemerintahan yang
sewenang-wenang melanggar HAM rakyat masih banyak terjadi dalam kehidupan
masyarakat dan ketatanegaraan. Korban ini timbul bila pejabat/penguasa dalam pelayanan terhadap
masyarakat, baik sengaja atau kelalaian menyebabkan kerugian material atau
immaterial dan hak asasi dari rakyat yang dilayaninya. Jadi, Asas keseimbangan pelayanan hukum terhadap korban dan penguasa perlu
dipelihara dengan baik melalui perlindungan hukum.
-
SARAN
Upaya untuk menghindarkan diri jadi korban penyalahgunaan kekuasaan
dapat dilakukan melalui jalur legal (hukum) baik melalui KPK, SATGAS
PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM, KOMNAS HAM, dan masyarakat
seharusnya
semakin bisa memperhatikan gerak gerik penguasa jangan sampai dibodohi
ataupun dibohongin dan sebaiknya bertindak bijak dengan
berupaya mempelajari kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh penguasa, serta melakukan pembelaan diri secara langsung
atau tidak langsung dari kemungkinan timbulnya korban dari penyalahgunaan
kekuasaan.
DAFTAR PUSTAKA
· Mansur
Semma, 2008, Negara dan korupsi:
pemikiran Mochtar Lubis atas negara,manusia Indonesia, dan perilaku politik. Yayasan
Obor Indonesia.
· Wijayanto, Ridwan Zachrie, 2009, Korupsi mengorupsi Indonesia: sebab, akibat,
dan prospek pemberantasan. PT Gramedia Pustaka Utama.
SUMBER
LAIN